PASURUAN, Antaradaily.com – Desakan keras yang dilontarkan oleh Ketua Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) wilayah Pasuruan Raya, R. HZH, dan rekannya bersama Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan untuk menutup Cafe Gempol-9 dan Meiko Pandaan, justru menimbulkan tanda tanya besar di kalangan wartawan Pasuruan Raya.
Pasalnya, mencuat dugaan bahwa dua wartawan yang kini bersuara lantang tersebut sebelumnya pernah menikmati berbagai fasilitas hiburan secara cuma-cuma dari tempat yang kini mereka kritik habis-habisan.
Pihak pengelola Cafe Gempol-9 akhirnya angkat bicara. Mereka membantah tudingan bahwa usaha mereka ilegal atau melanggar aturan seperti yang diberitakan.
“Kami menjalankan usaha sesuai dengan izin resmi. Ironisnya, pihak-pihak yang selama ini menikmati fasilitas kami secara gratis kini tampil seolah paling peduli terhadap penegakan aturan,” ujar salah satu perwakilan pengelola, Rabu (11/6/2025).
Ia bahkan menyebut inisial EK, salah satu dari dua wartawan tersebut, yang dikabarkan beberapa kali menikmati layanan karaoke tanpa membayar.
“Nyanyi gratis, kalau minuman beli sendiri, itu pun karena permintaan mereka. Semua orang tahu siapa yang sering duduk di room kami sambil bernyanyi ria,” ungkapnya.
Lebih mengejutkan, nama R. HZH juga ikut disebut. Meski dikenal sebagai sosok vokal yang menyerukan penutupan Cafe Gempol-9, pihak pengelola mengklaim bahwa ia kerap datang dan meminta layanan hiburan tanpa membayar.
“Dia sering datang, minta karaoke gratis. Bahkan sempat minum-minum juga tanpa bayar. Lucunya, kadang terlihat nongkrong di pinggiran Terminal Pandaan sambil menenggak minuman, seperti tidak mampu sewa room karaoke,” tambah pihak pengelola dengan nada heran.?
Mereka menilai, sikap dua wartawan tersebut tidak hanya tidak konsisten, tetapi juga sarat kepentingan pribadi dan nuansa politis.
“Kalau memang benar peduli soal ketertiban, mestinya mendorong pembinaan dan pengawasan, bukan malah menjadi provokator dengan serangan sepihak,” tegas pengelola.
Sejumlah wartawan di wilayah Pasuruan Raya pun angkat suara. Mereka menyayangkan tindakan dua rekan seprofesi yang memilih mendesak Ketua DPRD untuk menutup tempat hiburan tersebut.
“Kalau LSM atau Ormas yang minta tutup sih wajar, ini kok wartawan malah seperti aktivis dadakan. Jurnalis itu tugasnya menulis, bukan memprovokasi. Kalau memang mau serius, ya dari Tretes dulu, tempat-tempat besar yang lebih jelas pelanggarannya,” ujar Sam, wartawan Pasuruan yang menurutnya bikin malu profesi saja.
Lebih ironis lagi, kedua wartawan yang gencar menyuarakan penutupan Gempol-9 justru disebut kurang dikenal di kalangan jurnalis Pasuruan, khususnya di wilayah Kabupaten Pasuruan.
“Kami sampai melongo. Ini siapa sebenarnya? Wartawan dari media mana?” ujar seorang jurnalis Pasurun yang enggan disebut namanya.
Ia menambahkan, jika ingin membuktikan bahwa mereka benar-benar wartawan, cukup tanyakan kepada para jurnalis yang rutin meliput kegiatan pers di Polres.
“Silakan cek ke rekan-rekan media yang biasa hadir di rilis Polres. Saya jamin, hanya beberapa wartawan yang mungkin mengenal mereka,” tegasnya.
Komentar paling pedas datang dari salah satu pewarta Pasuruan yang menyatakan.!
“Dua orang ini cuma bikin malu profesi. Gaya bicara meledak-ledak, tapi rekam jejaknya justru mencoreng nama jurnalis. Kami ini berjuang menjaga marwah pers, bukan memperalatnya demi kepentingan pribadi.”
Kini, publik menantikan sikap tegas dari Pemerintah Kabupaten Pasuruan. Apakah akan berdiri di sisi keadilan dan transparansi, atau justru tunduk pada tekanan opini yang dibentuk oleh oknum yang belum tentu bersih dari kepentingan pribadi. (Nang)